Bekasi(11/07)- Bulan Juli adalah bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Salah satu momen yang populer di bulan juli yaitu berdirinya Bank Indonesia sebagai bank sentral sirkulasi pada 1 Juli 1953.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada masa ini, NICA mendirikan kembali DJB (De Javasche Bank) untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal ini dilakukan NICA untuk mengacaukan perekonomian Indonesia yang notabene masih negara baru.
Menyikapi hal ini, sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 ” Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan undang-undang”, maka pada tanggal 5 juli 1946 didirikanlah Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sirkulasi. Pada masa itu juga, menteri keuangan RI yaitu Syafruddin Prawiranegara menjadi orang pertama yang mengusulkan agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia sekaligus untuk mengganti beberapa mata uang asing yang masih beredar. Mata uang Indonesia saat itu dinamakan Oeang Republik Indonesia (ORI).
Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). Pada masa ini, uang DJB milik NICA dikenal dengan sebutan “uang merah” dan ORI milik RI dikenal sebagai “uang putih”.
Pada tahun 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB). Salah satu butir KMB adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Kedudukan RIS berada dibawah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS. Selain itu, KMB juga menetapkan De Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Republik Indonesia memutuskan keluar dari RIS untuk menjadi NKRI. Dalam masa peralihan kembali menjadi NKRI, DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda.
Pada periode 1949-1950, Syafruddin Prawiranegara diangkat kembali menjadi Menteri Keuangan. Saat itu, Indonesia sedang menghadapi ancaman krisis ekonomi. Karena kondisi tersebut, Syafruddin menerapkan kebijakan moneter yang dikenal dengan sebutan “Gunting Syafruddin” dan Sertifikat Devisa.
Kebijakan Gunting Syafruddin adalah pemotongan nilai uang karena perekonomian tengah merosot. Dengan kebijakan itu, semua uang yang bernilai 5 gulden ke atas dipotong nilainya menjadi setengah. Pemotongan ini dilakukan secara harfiah, lembaran uang digunting menjadi dua. Potongan pertama menjadi uang yang nilainya setengah dari semula, sementara potongan kedua ditukar sebagai kupon obligasi negara.
Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk membentuk panitia nasionalisasi DJB. Proses Nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh pemerintah RI dengan besaran mencapai 97%.
Dengan nasionalisasi DJB ini, maka ditunjuklah Syafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur DJB pertama dan satu-satunya yang berasal dari Indonesia (1951-1953). Kemudian pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU No.11 Tahun 1953 tentang pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB. Maka sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.
Dari sejarah berdirinya Bank Indonesia, kita dapat melihat peran yang besar dari Syafruddin Prawiranegara. Sebagai pejuang, beliau sudah membuka jalan bagi terwujudnya perekonomian Indonesia yang berdaulat dan mandiri. Hal ini ditandainya dengan hadirnya mata uang asli Indonesia dan berdirinya Bank Indonesia sebagai sentral sikulasi. Selain sebagai ekonom, beliau juga tercatat dalam sejarah pernah memimpin Indonesia ketika para pucuk pimpinan (Soekarno-Hatta) ditangkap dan diasingkan. Melalui PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dengan pusat kota berada di Bukittinggi (Sumatera Barat) beliau tetap menjaga dan memberikan sinyal kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih eksis.
Walaupun setelah itu beliau sering berbeda pendapat dan bersikap oposisi terhadap pemerintahan soekarno-hatta. Hal ini beliau lakukan karena ketidakpuasan terhadap kebijakan dan pembangunan yang tidak merata antara pulau jawa dan diluar jawa.
Baca juga : Biografi Syafruddin Prawiranegara
Mudah-mudahan kita sebagai bangsa Indonesia dapat mencontoh kegigihan pejuang di masa awal kemerdekaan untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Walaupun diantara sesama anak bangsa seringkali terjadi perbedaan pendapat yang tajam, namun jasa-jasa yang pernah mereka berikan harus tetap diingat dan tidak saling menutupinya. (fr)
” Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya” (Ir. Soekarno)
Simak Video : Siswa SMAIT TBZ Lulus Masuk PTN
Leave a Comment